ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN
ANAK DENGAN THIPOID
A. PENGERTIAN
Demam
tifoid adalah penyakit menular yang bersifat akut, yang ditandai dengan
bakterimia, perubahan pada sistem retikuloendotelial yang bersifat difus,
pembentukan mikroabses dan ulserasi Nodus peyer di distal ileum. (Soegeng
Soegijanto, 2002)
Tifus abdominalis adalah suatu
infeksi sistem yang ditandai demam, sakit kepala, kelesuan, anoreksia,
bradikardi relatif, kadang-kadang pembesaran dari limpa/hati/kedua-duanya.
(Samsuridjal D dan heru S, 2003)
B. PENYEBAB
Salmonella
typhi yang menyebabkan infeksi invasif yang ditandai oleh demam, toksemia,
nyeri perut, konstipasi/diare. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain:
perforasi usus, perdarahan, toksemia dan kematian. (Ranuh, Hariyono, dan dkk.
2001)
Etiologi
demam tifoid dan demam paratipoid adalah S.typhi, S.paratyphi A, S.paratyphi b
dan S.paratyphi C. (Arjatmo Tjokronegoro, 1997)
C. PATOFISIOLOGIS
Transmisi
terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi urin/feses dari
penderita tifus akut dan para pembawa kuman/karier.
Empat F
(Finger, Files, Fomites dan fluids) dapat menyebarkan kuman ke makanan, susu,
buah dan sayuran yang sering dimakan tanpa dicuci/dimasak sehingga dapat
terjadi penularan penyakit terutama terdapat dinegara-negara yang sedang
berkembang dengan kesulitan pengadaan pembuangan kotoran (sanitasi) yang andal.
(Samsuridjal D dan heru S, 2003)
Masa
inkubasi demam tifoid berlangsung selama 7-14 hari (bervariasi antara 3-60
hari) bergantung jumlah dan strain kuman yang tertelan. Selama masa inkubasi
penderita tetap dalam keadaan asimtomatis. (Soegeng soegijanto, 2002)
PATHWAYS
Salmonella typhosa
Saluran pencernaan
Diserap oleh usus
halus
Bakteri memasuki
aliran darah sistemik
Kelenjar limfoid Hati Limpa Endotoksin
usus halus
Tukak Hepatomegali Splenomegali Demam
Pendarahan dan Nyeri perabaan
perforasi Mual/tidak
nafsu makan
Perubahan
nutrisi
Resiko kurang
volume cairan
(Suriadi
& Rita Y, 2001)
D. GEJALA KLINIS
Gejala
klinis pada anak umumnya lebih ringan dan lebih bervariasi dibandingkan dengan
orang dewasa. Walaupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, tetapi
secara garis besar terdiri dari demam satu minggu/lebih, terdapat gangguan
saluran pencernaan dan gangguan kesadaran. Dalam minggu pertama, keluhan dan
gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada umumnya seperti demam, nyeri
kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi, serta suhu badan yang
meningkat.
Pada
minggu kedua maka gejala/tanda klinis menjadi makin jelas, berupa demam
remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung, bisa disertai
gangguan kesadaran dari ringan sampai berat. Lidah tifoid dan tampak kering,
dilapisi selaput kecoklatan yang tebal, di bagian ujung tepi tampak lebih
kemerahan. (Ranuh, Hariyono, dan dkk. 2001)
Sejalan
dengan perkembangan penyakit, suhu tubuh
meningkat dengan gambaran ‘anak tangga’. Menjelang akhir minggu pertama, pasien
menjadi bertambah toksik. (Vanda Joss & Stephen Rose, 1997)
Gambaran klinik tifus abdominalis
Keluhan:
- Nyeri kepala (frontal) 100%
- Kurang enak di perut ³50%
- Nyeri tulang, persendian, dan otot ³50%
- Berak-berak £50%
- Muntah £50%
Gejala:
- Demam 100%
- Nyeri tekan perut 75%
- Bronkitis 75%
- Toksik >60%
- Letargik >60%
- Lidah tifus (“kotor”) 40%
(Sjamsuhidayat,1998)
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.
Pemeriksaan Darah Perifer
Lengkap
Dapat ditemukan leukopeni, dapat pula leukositosis atau kadar
leukosit normal. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi
sekunder.
2.
Pemeriksaan SGOT dan SGPT
SGOT dan SGPT sering meningkat, tetapi akan kembali normal setelah
sembuh. Peningkatan SGOT dan SGPT ini tidak memerlukan penanganan khusus
3.
Pemeriksaan Uji Widal
Uji Widal dilakukan untuk
mendeteksi adanya antibodi terhadap bakteri Salmonella typhi. Uji Widal
dimaksudkan untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita Demam
Tifoid. Akibat adanya infeksi oleh Salmonella typhi maka penderita membuat
antibodi (aglutinin) yaitu:
·
Aglutinin O: karena rangsangan
antigen O yang berasal dari tubuh bakteri
·
Aglutinin H: karena rangsangan
antigen H yang berasal dari flagela bakteri
·
Aglutinin Vi: karena rangsangan
antigen Vi yang berasal dari simpai bakter.
Dari ketiga aglutinin tersebut
hanya aglitinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis Demam Tifoid. Semakin
tinggi titernya semakin besar kemungkinan menderita Demam Tifoid. (Widiastuti
Samekto, 2001)
F. TERAPI
1.
Kloramfenikol. Dosis yang
diberikan adalah 4 x 500 mg perhari, dapat diberikan secara oral atau
intravena, sampai 7 hari bebas panas
2.
Tiamfenikol. Dosis yang diberikan 4 x 500 mg
per hari.
3.
Kortimoksazol. Dosis 2 x 2
tablet (satu tablet mengandung 400 mg sulfametoksazol dan 80 mg trimetoprim)
4.
Ampisilin dan amoksilin. Dosis
berkisar 50-150 mg/kg BB, selama 2 minggu
5.
Sefalosporin Generasi Ketiga.
dosis 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc, diberikan selama ½ jam per-infus sekali
sehari, selama 3-5 hari
6.
Golongan Fluorokuinolon
·
Norfloksasin : dosis 2 x 400 mg/hari selama 14
hari
·
Siprofloksasin : dosis 2 x 500 mg/hari selama 6
hari
·
Ofloksasin : dosis 2 x 400 mg/hari selama
7 hari
·
Pefloksasin : dosis 1 x 400 mg/hari selama 7
hari
·
Fleroksasin : dosis 1 x 400 mg/hari selama 7
hari
7.
Kombinasi obat antibiotik.
Hanya diindikasikan pada keadaan tertentu seperti: Tifoid toksik, peritonitis
atau perforasi, syok septik, karena telah terbukti sering ditemukan dua macam
organisme dalam kultur darah selain kuman Salmonella typhi. (Widiastuti S,
2001)
G. KOMPLIKASI
Perdarahan usus, peritonitis, meningitis,
kolesistitis, ensefalopati, bronkopneumonia, hepatitis. (Arif mansjoer &
Suprohaitan 2000)
Perforasi usus terjadi pada 0,5-3% dan perdarahan berat pada 1-10%
penderita demam tifoid. Kebanyakan komplikasi terjadi selama stadium ke-2
penyakit dan umumnya didahului oleh penurunan suhu tubuh dan tekanan darah
serta kenaikan denyut jantung.Pneumonia sering ditemukan selama stadium ke-2
penyakit, tetapi seringkali sebagai akibat superinfeksi oleh organisme lain
selain Salmonella. Pielonefritis, endokarditis, meningitis, osteomielitis dan
arthritis septik jarang terjadi pada hospes normal. Arthritis septik dan
osteomielitis lebih sering terjadi pada penderita hemoglobinopati. (Behrman
Richard, 1992)
H.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN DEMAM TIPOID
PENGKAJIAN
1.
Riwayat keperawatan
2.
Kaji adanya gejala dan tanda
meningkatnya suhu tubuh terutama pada malam hari, nyeri kepala, lidah kotor,
tidak nafsu makan, epistaksis, penurunan kesadaran
DIAGNOSA
KEPERAWATAN
1.
Peningkatan
suhu tubuh berhubungan dengan infeksi Salmonella Typhii
2.
Gangguan
pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan
kelemahan/bedrest.
4.
Gangguan
keseimbangan cairan (kurang dari kebutuhan) berhubungan dengan pengeluaran cairan yang berlebihan
(diare/muntah).
Intervensi dan Implementasi
1. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan
infeksi salmonella typhsi.
Tujuan : suhu tubuh normal/terkontrol.
Kriteria hasil : Pasien melaporkan
peningkatan suhu tubuh
Mencari pertolongan untuk pencegahan
peningkatan suhu tubuh.
Turgor kulit membaik
Intervensi :
Ø Berikan penjelasan kepada klien dan keluarga
tentang peningkatan suhu tubuh.
R/ agar klien dan keluarga mengetahui sebab
dari peningkatan suhu dan membantu mengurangi kecemasan yang timbul.
Ø Anjurkan klien menggunakan pakaian tipis dan
menyerap keringat.
R/ untuk menjaga agar klien merasa nyaman, pakaian tipis akan membantu mengurangi penguapan tubuh.
R/ untuk menjaga agar klien merasa nyaman, pakaian tipis akan membantu mengurangi penguapan tubuh.
Ø Batasi pengunjung.
R/ agar klien merasa tenang dan udara di
dalam ruangan tidak terasa panas.
Ø Observasi TTV tiap 4 jam sekali
R/ tanda-tanda vital merupakan acuan untuk
mengetahui keadaan umum pasien
Ø 2,5 liter / 24 jam± Anjurkan
pasien untuk banyak minum, minum
R/ peningkatan suhu tubuh mengakibatkan
penguapan tubuh meningkat sehingga perlu diimbangi dengan asupan cairan yang
banyak
Ø Memberikan kompres dingin.
R/ untuk membantu menurunkan suhu tubuh
Ø Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian tx
antibiotik dan antipiretik
R/ antibiotik untuk mengurangi infeksi dan antipiretik untuk menurangi panas.
R/ antibiotik untuk mengurangi infeksi dan antipiretik untuk menurangi panas.
2.
Gangguan
pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia
Tujuan : Pasien mampu mempertahankan
kebutuhan nutrisi adekuat
Kriteria
hasil : - Nafsu
makan meningkat
- Pasien mampu menghabiskan makanan sesuai
dengan porsi yang diberikan
Intervensi :
Ø Jelaskan pada klien dan keluarga tentang
manfaat makanan/nutrisi.
R/ untuk meningkatkan pengetahuan klien
tentang nutrisi sehingga motivasi untuk makan meningkat.
Ø Timbang berat badan klien setiap 2 hari.
R/ untuk mengetahui peningkatan dan
penurunan berat badan.
Ø Beri nutrisi dengan diet lembek, tidak
mengandung banyak serat, tidak merangsang, maupun menimbulkan banyak gas dan dihidangkan saat masih hangat.
R/ untuk meningkatkan asupan makanan karena
mudah ditelan.
Ø Beri makanan dalam porsi kecil dan frekuensi
sering.Ó
R/ untuk menghindari mual dan muntah.
R/ untuk menghindari mual dan muntah.
Ø Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian
antasida dan nutrisi parenteral.
R/ antasida mengurangi rasa mual dan muntah.
R/ antasida mengurangi rasa mual dan muntah.
Ø Nutrisi parenteral dibutuhkan terutama jika
kebutuhan nutrisi per oral sangat kurang.
3.
Intoleransi
aktivitas berhubungan dengan kelemahan/bed rest
Tujuan : pasien bisa melakukan aktivitas
kehidupan sehari-hari (AKS) optimal.
Kriteria hasil : -Kebutuhan personal terpenuhi
Kriteria hasil : -Kebutuhan personal terpenuhi
-Dapat melakukan gerakkan yang bermanfaat
bagi tubuh.
-memenuhi AKS dengan teknik penghematan
energi.
Intervensi
:
Ø Beri motivasi pada pasien dan kelurga untuk
melakukan mobilisasi sebatas kemampuan (missal. Miring kanan, miring kiri).
R/ agar pasien dan keluarga mengetahui
pentingnya mobilisasi bagi pasien yang bedrest.
Ø Kaji kemampuan pasien dalam beraktivitas
(makan, minum).
R/ untuk mengetahui sejauh mana kelemahan
yang terjadi.
Ø Dekatkan keperluan pasien dalam
jangkauannya.
R/ untuk mempermudah pasien dalam melakukan
aktivitas.
Ø Berikan latihan mobilisasi secara bertahap
sesudah demam hilang.
R/ untuk menghindari kekakuan sendi dan
mencegah adanya dekubitus.
4.
Gangguan
keseimbangan cairan (kurang dari kebutuhan) berhubungan dengan cairan yang
berlebihan (diare/muntah).
Tujuan : tidak terjadi gangguan keseimbangan
cairan.
Kriteria hasil : -Turgor kulit meningkat
-Wajah tidak nampak pucat
Intervensi :
Ø Berikan penjelasan tentang pentingnya
kebutuhan cairan pada pasien dan keluarga.
R/ untuk mempermudah pemberian cairan
(minum) pada pasien.
Ø Observasi pemasukan dan pengeluaran cairan.
R/ untuk mengetahui keseimbangan cairan.
Ø 2,5 liter / 24 jam.± Anjurkan
pasien untuk banyak minum
R/ untuk pemenuhan kebutuhan cairan.
Ø Observasi kelancaran tetesan infuse.
R/ untuk pemenuhan kebutuhan cairan dan
mencegah adanya odem.
Ø Kolaborasi dengan dokter untuk terapi cairan
(oral / parenteral).
R/ untuk pemenuhan kebutuhan cairan yang
tidak terpenuhi (secara parenteral).
(Lynda Juall,
2000, Diagnosa Keperawatan, EGC, Jakarta)
I.
DISCHARGE PLANNING
1.
Penderita harus dapat
diyakinkan cuci tangan dengan sabun setelah defekasi
2.
Mereka yang diketahui sebagai
karier dihindari untuk mengelola makanan
3.
Lalat perlu dicegah
menghinggapi makanan dan minuman.
4.
Penderita memerlukan istirahat
5.
Diit lunak yang tidak merangsang
dan rendah serat
(Samsuridjal
D dan Heru S, 2003)
6.
Berikan informasi tentang
kebutuhan melakukan aktivitas sesuai dengan tingkat perkembangan dan kondisi
fisik anak
7.
Jelaskan terapi yang diberikan:
dosis, dan efek samping
8.
Menjelaskan gejala-gejala
kekambuhan penyakit dan hal yang harus dilakukan untuk mengatasi gejala
tersebut
9.
Tekankan untuk melakukan
kontrol sesuai waktu yang ditentukan.
(Suriadi
& Rita Y, 2001)
DAFTAR PUSTAKA
1.
Arif Mansjoer, Suprohaitan,
Wahyu Ika W, Wiwiek S. Kapita Selekta Kedokteran. Penerbit
Media Aesculapius. FKUI Jakarta .
2000.
2.
Arjatmo Tjokronegoro &
Hendra Utama. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke Tiga. FKUI. Jakarta . 1997.
3.
Behrman Richard. Ilmu
Kesehatan Anak. Alih bahasa: Moelia Radja Siregar & Manulang. Editor:
Peter Anugrah. EGC. Jakarta .
1992.
4.
Joss, Vanda dan Rose, Stephan. Penyajian
Kasus pada Pediatri. Alih bahasa Agnes Kartini. Hipokrates. Jakarta . 1997.
5.
Ranuh, Hariyono dan Soeyitno,
dkk. Buku
Imunisasi Di Indonesia, edisi pertama. Satgas Imunisasi Ikatan Dokter
Anak Indonesia .
Jakarta . 2001.
6.
Samsuridjal Djauzi dan Heru
Sundaru. Imunisasi Dewasa. FKUI. Jakarta .
2003.
7.
Sjamsuhidayat. Buku
Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. EGC. Jakarta . 1998.
8.
Soegeng Soegijanto. Ilmu
Penyakit Anak, Diagnosa dan Penatalaksanaan. Salemba Medika. Jakarta . 2002.
9.
Suriadi & Rita Yuliani. Buku
Pegangan Praktek Klinik Asuhan Keperawatan pada Anak. Edisi I. CV Sagung
Seto. Jakarta .
2001.
10.
Widiastuti Samekto. Belajar
Bertolak dari Masalah Demam Typhoid. Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Semarang . 2001.
12.
Lynda Juall, 2000, Diagnosa Keperawatan, EGC, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar